Friday, October 3, 2008

Di bibir batas

Kupanggil nama Mu
Kulantunkan kemegahan dan kebesaran Mu setiap minggu
Kudengar keagungan kuasa Mu, dari bibir-bibir penuh saksi atas kebaikan Mu
Kucari Engkau ...
Kubaca berpuluh-puluh kitab tentang Mu
Beratus-ratus lembar kertas yang menceritakan tentang pribadi Mu, identitas Mu
Kulafalkan tutur Mu dalam beribu-ribu aksara

Namun, dimanakah pesona Mu kini
yang dulu kupuja, kusentuh, kulihat, dan kurasakan?
seakan lenyap, hilang, menguap bagaikan air pantai

aku, di bibir batas ...
di ujung pencarianku akan Mu

-------------------------------------------------------------------------------------


Kereta satu, nomor 2 B

Seorang wanita dengan senyum hangatnya mempersilahkanku duduk di sebelahnya
Tanpa salam berarti
Tanpa nama perkenalan
Kami berbincang-bincang
Dua perempuan, dari dua generasi
Saling bertukar cerita, saling mengagumi
Aku seperti mengenalnya ...
Saat ia bercerita tentang anak-anaknya, hidupnya, perjuangan dan pengorbanannya
Bagaimana ia menasehatiku, mewejangiku

Yah, seketika aku teringat Mama!
Tiba-tiba aku merindukan beliau
Pada senyumnya, pada nasihat-nasihatnya, pada masakannya, pada (tentu saja!) kecerewetannya
yang dulu terasa memuakkan dan membosankan
tapi sekarang, aku kangen!
sumpah! aku kangen mama

-------------------------------------------------------------------------------------


(Stasiun Jatinegara)

Dua setengah jam terasa seperti mengedipkan mata
Tak terasa ...
Ibu tua harus turun, kembali ke wisma tercintanya di Pondok Bambu

Sebelum turun masih kudengar lagi beliau berujar:
"hati-hati, nak! Semoga engkau selamat dan berhasil dalam hidupmu. Tuhan memberkati!"

Aku tersentak. Saat kata-kata terakhir diucapkan
Tanpa sadar, akupun berucap, "Tuhan memberkati Ibu juga"

Sosok ibu tua lenyap dari hadapanku
Tapi kata-kata terakhirnya masih terngiang-ngiang

Saat itu aku tahu
bahwa sesungguhnya, Kau tidak hilang
Tidak pernah pergi. Masih ada. Disini.

Saat itu aku tahu ...
Engkau masih milikku